Pemilu 2009 yang menghabiskan lebih Rp 14 triliun sudah mendekati final setelah pemungutan suara telah dilaksanakan pada 9 April 2009. Dari hasil lembaga survei dan interaktif di radio Elshinta, Pemilu 2009 dinilai lebih buruk dibanding Pemilu 2004 maupun 1999. Dari masalah teknis dan pemutakhiran data pemilih yang jauh dari semestinya hingga rendahnya partisipasi rakyat dalam memilih para wakil rakyat untuk menentukan kebijakan Trias Politica. Besarnya angka golput, akan menurunkan keabsahan sistem pemerintah kedepan. Sehingga jalannya roda pemerintahan akan tidak “afdhal” alias cacat amanat rakyat.
Daftar hasil Quick Count Mutakhir Pemilu 2009 : silahkan klik di sini.
Hasil Perolehan Suara Quick Count LSI (Angka Relatif)
9 Partai yang memenuhi threshold 2.5% suara nasional
- “Partai Golput” : 30%
- Demokrat : 20.4%
- PDIP : 14.65%
- Golkar : 14%
- PKS : 7.5%
- PAN : 5.9%
- PPP : 5.3%
- PKB : 5.2%
- Gerindra : 4.3%
- Hanura : 3.6%
NB: Persentase angka relatif suara partai politik dihitung berdasarkan jumlah pemilih yang menggunkan hak suaranya yakni (suara partai / (total pemilih sebenarnya - golput))
Hasil Perolehan Suara Quick Count LSI (Angka Absolut)
Berikut hasil perolehan suara partai secara absolut 9 partai di atas.
- Partai Golput : 30% suara (belum termasuk masalah DPT)
- P Demokrat : 14.3%
- PDI P : 10.3 %
- Golkar : 9.8 %
- PKS : 5.3%
- PAN : 4.1%
- PPP : 3.7 %
- PKB : 3.6 %
- Gerindra : 3.0%
- Hanura : 2.5 %
NB. Angka absolut berarti total suara yang diperoleh masing-masing partai yang sebenarnya terhadap total pemilih yakni sekitar 170 juta.
Jadi persentase angka absolut suatu partai adalah perolehan suara partai / total pemilih sebenarnya.
Angka absolut ini tidak mungkin digunakan oleh pemerintah untuk mempersentasekan suara partai yang sebenarnya. Saya berusaha menunjukkan angka ini, agar masyarakat tidak terkecoh dengan persentase suara suatu partai yang dihitung dari (jumlah pemilih sebenarnya - jumlah pemilih golput). Melihat fenomena ini, apakah mungkin jika suara golput yang besar harus dikonversikan dengan pengurangan jumlah kursi di DPR. Jadi, jika ada 30% golput, maka kursi di DPR harus dikurangi 30% yakni tinggal 392 kursi dari 560 kursi. Secara anggaran, ini akan menghemat anggaran sekitar Rp 20 miliar per bulan. Toh, semakin banyak dewan juga belum tentu efektif. Semakin banyak dewan juga belum tentu tidak korupsi, skandal seks, arogan, dan terakhir PEMALAS.
Perkiraan Hasil Perolehan Suara (Golput dan DPT bermasalah)
- Partai Golput : > 40% suara (termasuk DPT)
- P Demokrat : 12.2%
- PDI P : 8.8 %
- Golkar : 8.4 %
- PKS : 4.5%
- PAN : 3.5%
- PPP : 3.2 %
- PKB : 3.1 %
- Gerindra : 2.6%
- Hanura : 2.1 %
Dengan memasukkan parameter masyarakat yang tidak dapat memilih karena DPT yang mencapai 10-20 penduduk, maka total golput secara absolut terhadap warga yang memilih hak untuk memilih mencapai sekitar 40%. Artinya gabungan partai-partai besar seperti Demokrat, PDIP, Golkar (totalnya sekitar 29.4%) memiliki dukungan real yang jauh lebih kecil dari jumlah masyarakat yang tidak memilih (golput).
Berikut daftar “perolehan suara Golput” sejak 1971 (Era Orde Baru)
- 1971 : 6.64 %
- 1977 : 8.40 %
- 1982 : 8.53 %
- 1987 : 8.39%
- 1992 : 9.09 %
- 1997 : 9.42 %
- 1999 : 10.21 %
- 2004 : 23.34 %
- 2009 : +/- 30%
Data : 1971-2004 dari Pusat Studi dan Kawasan UGM ; 2009 daridata sementara dari hasil lembaga survei.
Dari data daftar suara golput, maka sejak era reformasi, jumlah masyarakat yang abstain atau golput meningkat pesat yakni 10.21% pada tahun 1999 menjadi lebih kurang 30% di tahun 2009.Angka golput 30% jauh melebihi angka partai Demokrat yang menduduki posisi pertama dalam survei yakni 20% suara dari (100%-30% golput). Tampaknya “Partai Golput” menang mutlak. Perlu dicatat, bahwa angka golput bukanlah semata-mata karena apatisme masyarakat, namun pada tahun 2009 ini angka golput tidak hanya saja masyarakat yang apatis, namun KPU dan Pemerintah secara tidak langsung membungkam hak suara rakyat untuk memilih.
Setidaknya ada 3 faktor utama meningkatnya Golput 2009 yakni
Teknis : Daftar Pemilih Tetap (DPT)
Salah satu tugas utama KPU dan Pemerintah adalah menyukseskan Pemilu 2009 seperti dalam amanat UUD 1945 serta UU 10 tahun 2008. Namun, ironisnya meski kita telah merdeka lebih 6 dekade dan telah menjalani reformasi lebih 10 tahun, masalah mekanisme pemungutan suara rakyat masih dipersulit oleh birokrasi. Banyak mahasiswa, buruh migran, dan warga pindahan yang seharusnya mendapat hak untuk memilih justru tidak difasilitasi dengan baik oleh KPU. Setidaknya lebih kurang 1 juta mahasiswa di perguruan tinggi, jutaan buruh migran beserta keluarganya di kota-kota, serta warga yang baru pindahan tidak dapat memilih karena dipersulit dalam mengurus DPT, seperti kartu A5. Hal ini pun dialami oleh saya dan kesembilan teman kos saya. Begitu juga ada sekitar 5000-an mahasiswa Unpad, 7-10 ribu-an mahasiswa ITB, ribuan mahasiswa Maranatha, Parahyangan, Unpas, Unisba, Unjani, Itenas dan sejumlah mahasiswa perguruan tinggi di kota Bandung yang berasal dari luar kota Bandung.
Kebanyakan mahasiswa tidaklah apatis, mereka ingin memilih. Namun, saat ini umumnya mahasiswa sedang menjalani masa Ujian Tengah Semester (UTS), dan cukup memberatkan bagi mahasiswa untuk pulang ke kampung halaman untuk memilih atau mengurus kartu A5.
Sikap Apatis
Tidak sedikit masyarakat yang apatis terhadap golput Pemilu di negeri ini. Umumnya, masyarakat yang apatis adalah golongan masyarakat miskin atau perantaun. Hal ini dikarenakan siapapun partai yang menang, kehidupan mereka tidak berubah dan bahkan kehidupan mereka bertambah miskin atua dimiskinkan. Sehingga, golongan masyarakat ini lebih memilih bekerja daripada libur untuk contreng. Dan angka masyarakat apatis semakin tinggi, dikarenakan banyaknya politisi partai yang mementingkan kepentingan partainya daripada kepentingan masyarakat. Ketika menjelang Pemilu, para petinggi partai gencar menghabiskan puluhan bahkan ratusan miliar untuk iklan janji dan janji. Namun ketika berkuasa, mereka asyiik menggeruk kebijakan yang menghasilkan keuntungan partai.
Konsep Ideologis
Angka masyarakat yang golput dari ideologis tidak meningkat sepesat masyarakat apatis ataupun terkendala masalah teknis. Umumnya masyarakat golongan ideologis golput berasal dari kalangan cendekiawan level atas yang alasan sistem politik yang buruk hingga landasan religius. Kebobrokan dan skandal yang sering disiarkan media TV semakin menguatkan keyakinan ideologis masyarakat ini yang mengatakan “memilih partai berarti memilih keburukan, karena tidak ada partai yang baik dan benar”.
Sebenarnya, indikasi meningkatnya angka golput sudah dirilis sejak akhir tahun 2008 oleh berbagai lembaga, namun KPU dan Pemerintah tampaknya menggubris masalah ini. Jika saja pemerintah mau mendengar masukan dan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat serta memfollow-upnya, maka mungkin saja pemenang Pemilu 2009 bukan “Partai Golput”. Melihat gejala apatis dan teknis DPT, seharusnya pemerintah dan KPU tanggap mengeluarkan kebijakan merakyat dengan “menyambut bola” atau hak masyarakat untuk memilih. Apa sih salahnya, jika kriteria seorang pemilih seperti buruh migran atau mahasiswa perantauan adalah KPT dan KTM (kartu tanda mahasiswa) dengan bekerja sama dengan institusi perusahaan atau perguruan tinggi. Sekali lagi, tampaknya KPU enggan turun ke bawah, enggan melayani sepenuhnya padahal 14 triliun uang rakyat telah digunakan dan salah satunya adalah untuk membayar gaji mereka.
Khusus untuk masalah mahasiswa, saya sangat menyayangkan KPUD setempat yang tidak menfasilitasi mahasiswa untuk menggunakan hak pilihnya, padahal sudah ada tuntutan (demonstrasi damai) mahasiswa agar memberikan kemudahan para mahasiswa perantau untuk memilih. Namun, sekali lagi….birokrasi tidak mengizinkan mereka untuk memilih… Apakah ada indikasi pemerintah tidak menginginkan suara mereka digunakan sesuai dengan keinginan mereka? Hal ini sangatlah ironis jika membandingkan bagaimana pemerintah dan KPU melayani dengan sangat baik pemilih yang saat ini berada di luar negeri. KPU dan pemerintah melayani masyarakat luar negeri dengan dana ekstra. Anehnya….masyarakat di dalam negeri yakni mahasiswa dalam negeri dan buruh migran…tampaknya diabaikan….Dasar!
** Pesan untuk MUI : untuk para kiai dan ulama di MUI, sudahkah bijak memberi fatwa haram untuk Golput jika kondisinya seperti ini? Hmmm……masuk ranah politik, tapi tidak tahu kondisi politik!
Salam Perubahan yang lebih Baik
10 April 2009 - ech for nusantaraku
Posting Komentar